Selasa, 20 September 2011

"Puisi" yang Tak Pantas Dikatakan Puisi

Entah mengapa sinar bulan malam ini redup merah saga,
tak didampingi bintang-bintang kecil,
kini sinarnya sirna oleh awan yg gelap.
Walau demikian, dia tetap indah. (menurutku)
sambil men-tafakkur-kan pohon yg tak begerak,
yang seolah mereka tunduk merendah.
                   Hati hanya bisa ikut tertunduk
                   memahami asbab khidupan,
                   memperkuat azzam-ku yg pernah kuikrarkan,
                   yang kini mulai goyah karena terpengaruh,
                   terpengaruh oleh *****. (entahlah)

Mungkin, inilah soal tersulit, yang harus Aku hadapi,
karena ini, bukan masalah 'apakah', tapi 'bagaimanakah dan siapakah'
Dinding-dinding azzam itu harus di perkokoh kembali oleh ****. (entahlah)
Dari gempuran kerikil-kerikil merah yang tak mengenal menyerah
yang tak tampak namun dapat dirasakan.
                  Inilah soal yang akan menjadi bukti!
                  Jika Aku dapat menjawabnya dengan benar,
                  bukti atas sikap dan perkataan yang seimbang
                  dari ketawakkalan, kesabaran, dan ketakdiran
                  yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Diri harus yakin atas itu!
Jika "tentu" itu benar,pasti akan ada jalan setapak
yang akan melebar nantinya.
Jika "tidak tentu" itu benar, jalan setapak itu
pasti akan menyempit walau berusaha melebarkannya.
                 Kini, Aku sadar...
                 Aku hanya bisa berusaha mencapai "nya"
                 memenuhi ***********. (entahlah)
                 Walau hanya terdiam, tersunyi, di dalam gemerlap sinar kecil.
Menikmati "angin" yang menyonsong datangnya "badai"
yang tak tentu datangnya..
Di dalam sebuah gubuk kecil nan sederhana
yang tak nampak oleh 6 indera,
namun nampak pada hati.


Takalar, 14 Syawal 1432 H
Sang Pendaki Pelangi,
Di atas sebuah pohon, meneropong bulan purnama.
dari balik daun-daun kehidupan.
Didampingi "puluhan kunang-kunang" 
sambil membisu...

0 komentar:

Posting Komentar