Rabu, 04 Januari 2012

My Brown Belt

 Baru saja saya mengikuti ujian penurunan kyu untuk meraih sabuk coklat. Dan ujian ini diadakan hari Minggu di sebuah SMK di Makassar. Sore hari sebelum hari ujian penurunan kyu (Sabtu), saya mendapat amanah yaitu harus mengikuti acara Rohis[1] untuk ikhwan di Sanrobone, Takalar yang sangat jauh lokasinya dari rumahku. Acaranya saya ikuti sampai jam 1 malam (Minggu). Dan pulang dengan membawa banyak pelajaran yang sangat inspiratif.


Ada beberapa hal yang tidak bisa terlupakan dari acara ini yaitu rasa persaudaraan (ukhuwah) yang kuat, terutama saat numpang nonton tv -bola- di salah satu panitia acara Rohis. Dan juga sewaktu perjalanan pulang di tengah malam yang gelap di pelosok kota yang jauh dari keramaian. Jadi waktu itu, saya dan 2 orang sahabatku yang akan mengikuti ujian penurunan kyu harus melewati jalanan yang katanya biasa terjadi perampokan/penghadangan atau dalam bahasa sahabatku disebut “Pangngallakkang”. Ketika itu, sahabatku mempersiapkan double-stick-nya untuk berjaga-jaga dan dan posisi motor kami yang menguasai seluruh jalanan. Haha ;-) Dengan tekad yang kuat dan tentunya dengan perlindungan Allah, Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa dalam perjalanan kami. Sekitar jam 1.30 malam sampai dirumah.


Dan sekitar jam 6.30 pagi (Minggu) saya berangkat ke tempat ujian setelah sebelumnya berkumpul di ranting tempatku latihan karate. Dalam perjalanan ke tempat ujian saya hanya bisa tidur. Maklum, saya belum istirahat sejak acara rohis di Sanrobone. (sok! Hehe)


Dan ujian penurunan kyu-nya pun dimulai. Dengan tekad yang kuat saya bisa lewati ujian ini walaupun tidak maksimal, disebabkan fisik yang tidak mendukung (lelah). Untuk benar-benar meraih sabuk coklat karateka harus melewati sebuah persyaratan yang biasa disebut “Tradisi”. Tradisi ini semacam ajang “penyiksaan” menurutku, mengapa? Karena harus melakukan gerakan-gerakan karate tak henti-hentinya. Tendangan, pukulan , push up, dan lain-lain yang membuat semua anggota badanku setelahnya menjadi nyeri, namun menyenangkan. haha

Mengutip kata salah seorang simpai saat itu, “Jangan berhenti sampai kalian pingsan”. Ha? Saya hanya bisa membasuh keringat dan menjalaninya tanpa protes. Waktu itu diriku seperti sudah berada di ujung kematian (lebay, haha) atau seperti lirik salah satu lagu yaitu kehilangan separuh nafas. Tapi karena melihat beberapa karateka perempuan tidak kelihatan lelah dan bisa melewatinya, maka saya berfikir perempuan saja bisa mengapa saya laki-laki tidak bisa melakukannya, ini masalah harga diri bung! Hehe. 

Dan akhirnya semua berhasil ku lewati dengan rasa lelah dan letih. Dan semoga sabuk coklat yang kuraih bukan hanya gelar tetapi juga bukti! Dan Insyallah suatu saat nanti akan berubah menjadi sabuk hitam, allahumma amin. Setelah ujian, saya pun pulang dan membaringkan badan dan menutup mata sambil bersyukur atas semua yang kulalui.


“Untuk menggapai impian diperlukan tekad. Siapa yang bertekad, biarpun ada rintangan/halangan di depannya ia akan tetap menerobos rintangan/halangan itu untuk mencapai impiannya. Biarpun harus mengorbankan suatu hal” 

Ini ceritaku, apa ceritamu?





Takalar
Sang Pendaki Pelangi

_________________
[1] Acaranya ini namanya Mabit (Malam Bina Iman dan Takwa) yang sebenarnya berlangsung sampai besok (Minggu) namun saya minta izin untuk pamit.


0 komentar:

Posting Komentar